Caci
maki dari orang-orang sudah menjadi cemilannya sehari-hari.
Jadi
sudah tak aneh jika ada orang yang melontarkan kalimat negatif
padanya.
Dari
yang meremehkan dia karena tak bisa melakukan apa-apa.
Dipandang
sebelah mata oleh orang tuanya sendiri.
Sampai
keberadaannya yang tak pernah dianggap ada.
Tapi
gadis itu selalu bertahan. Sekejam apapun perkataan orang-orang yang
dilontarkan padanya, dia hanya diam tanpa melawan orang-orang
tersebut. Menerimanya dan menelannya bulat-bulat. Dia... Selalu
berusaha untuk jadi gadis yang kuat.
Walaupun
sebenarnya dia hanyalah seorang gadis yang lemah. Yang selalu
bersandiwara menjadi gadis kuat di depan semua orang.
Seakan-akan tak pernah ada sesuatu yang terjadi padanya.
'Cukup...
Aku sudah lelah menghadapi ini semua.' batin gadis itu.
Dia
berdiri dari tempat duduknya.
“Ada
apa, Arisa?” tanya seorang guru yang tengah menerangkan materi di
depan kelas.
Semua
murid yang berada di kelas pun menatapnya dengan aneh. Tapi gadis itu
hanya diam. Menundukkan kepalanya. Dan tak menjawab pertanyaan yang
dilontarkan oleh Senseinya.
“Diam...”
Gadis
yang dipanggil 'Arisa' itu pun mengeluarkan sebuah benda yang sedari
tadi disembunyikan di bawah mejanya yang ternyata adalah... Sebuah
handgun. Semuanya langsung terkejut.
“A-Arisa...
Apa yang terjadi padamu?” tanya sang guru panik.
“Aku
bilang diam!” pekik Arisa sambil mengarahkan handgun yang
dia genggam pada sang guru.
Hening.
Suasana
semakin mencekam.
“Sacchan!
Apa kau gila? Apa yang kau lakukan?!” pekik Akari, yang merupakan
sahabat Arisa satu-satunya.
Arisa
menatapnya dengan tatapan dingin dan mengarahkan handgun padanya.
“Diamlah,
Ricchan.”
Akari
terbelalak kaget. Bagaimana bisa sahabatnya itu mengarahkan sebuah
handgun pada sahabatnya sendiri?
“S-Sacchan...”
Akari gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dia tak
percaya sahabatnya melakukan ini semua.
Hening
kembali menerpa. Tak ada seorang pun yang berani membuka mulutnya
untuk memecah keheningan.
“Ricchan...
Aku sudah lelah menghadapi ini semua.” ucap Arisa lirih.
Akari
terdiam sesaat, sebelum mengatakan sesuatu untuk merespon ucapan
Arisa.
“Baka...”
Arisa
terbelalak.
“Apa
kau bodoh? Kenapa kau berkata seperti itu? Bukannya kau bilang bahwa
kau akan terus bertahan seberat apapun cobaan yang kau terima?
Sacchan... Bukannya kau gadis yang kuat?
Yang tak akan menyerah begitu saja?” cairan bening mengalir
membasahi kedua pipi Akari.
“Ricchan...”
“Apa kau ingat waktu
itu? Waktu kau menceritakan semua penderitaanmu padaku, kau bilang
bahwa kau akan terus bertahan dan bersandiwara seakan-akan tidak ada
sesuatu yang terjadi padamu. Tapi kenapa... Kenapa sekarang kau malah
bertingkah bodoh seperti ini?!” pekik Akari.
“Apapun yang
terjadi... Ada aku yang selalu bersamamu kan?” lanjut Akari.
Tak
ada respon. Sang lawan bicara hanya berdiri
mematung. Matanya menatap
kosong sahabatnya itu.
“Sacchan... Kau
berubah.”
Arisa terbelalak kaget.
“Kau
bukan Sacchan. Sacchan yang kukenal adalah gadis yang baik. Yang tak
akan berteriak pada Sensei
lalu
menodongkan sebuah handgun
pada sahabatnya
sendiri.”
Dan
kini air mata Arisa sudah tak terbendung lagi.
Tak ada suara lain yang terdengar di ruangan kelas itu selain isakan
Arisa.
“Sudah
cukup... Hentikan!
Aku tak mau mendengarnya lagi! Aku sudah tak tahan lagi dengan semua
ini. Persetan dengan semua
orang yang merusak hidupku!” Arisa berteriak sekencang yang dia
bisa.
Tangannya
hendak menarik pelatuk handgun
itu. Sontak Akari
terkejut, begitu juga orang-orang yang ada di ruangan itu.
“Arisa!
Hentikan!” pekik sang guru.
Percuma saja, tak akan
ada yang bisa menghentikan Arisa saat ini.
Akari benar-benar tidak
menyangka bahwa hidupnya akan berakhir di tangan sahabatnya sendiri.
Arisa menyeringai.
Sebelum
menarik pelatuknya, dia
mengarahkan handgunnya
itu ke kepalanya sendiri.
“Sayonara...”
DOR!
.
.
.
End
Lia: Haah, beres deh~
Kenta: Pendek banget.
Lia: Iya, ini hanyalah
imajinasiku yang tiba-tiba lewat pas lagi merenung. Nyahaha~
Arisa: Ceritanya aku
bunuh diri ya?
Tamako: Kasian sekali
Arisa-nee.
Tamaki: Pasti gak
bakalan ada yang mau baca nih.
Lia: Heee? Kejam sekali
TwT *kemudian ngumpet di kolong meja*
(A/N:
Berhubung Lia gak tau mau kasih judul apa, jadinya Lia kasih
'Untitled' aja deh. So, kalau ada yang mau usul untuk judul fic
sampah ini, Lia terima dengan senang hati ^^)
Komentar
Posting Komentar